A. Wacana
Berdasarkan Realitas
Menurut T. Fatimah
Djajasudarma (1994: 6-7) realitas wacana dalam hal ini adalah eksistensi wacana
yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian kebahasaan verbal atau language
exist (kehadiran kebahasaan) dengan kelengkapan struktural bahasa, mengacu pada
struktur apa adanya; nonverbal atau language likes mengacu pada wacana sebagai
rangkaian nonbahasa yakni rangkaian isyarat atau tanda-tanda yang bermakna
(bahasa isyarat). Wacana nonbahasa
yang berupa isyarat, antara lain berupa:
yang berupa isyarat, antara lain berupa:
1. Isyarat dengan
gerak-gerik sekitar kepala atau muka, meliputi:
a. Gerakan mata,
antara lain melotot, berkedip, menatap tajam (dapatkah kita menentukan
maknanya. Misalnya, melotot = marah; melotot = ’menyuruh pergi’, dan
sebagainya).
b. Gerak bibir,
antara lain senyum, tertawa, meringis.
c. Gerak kepala,
antara lain mengangguk, menggeleng.
d. Perubahan raut
muka (wajah), antara lain mengerutkan kening, bermuka manis, bermuka masam.
2. Isyarat yang
ditunjukkan melalui gerak anggota tubuh selain kepala, meliputi:
a. Gerak tangan,
antara lain melambai, mengepal, mengacungkan ibu jari, menempelkan telunjuk
pada bibir, menunjuk dahi.
b. Gerak kaki, antara
lain mengayun-ayun, menghentak-hentakkan, menendang-nendang.
c. Gerak seluruh
tubuh, antara lain seperti terlihat pada pantomim, memiliki makna wacana
sebagai teks.
Tanda-tanda nonbahasa
yang bermakna berupa: (1) tanda rambu-rambu lalu lintas, dan (2) di luar
rambu-rambu lalu lintas. Tanda lalu lintas, misalnya dengan warna lampu pada
rambu-rambu lalu lintas: merah berarti ‘berhenti’, kuning berarti ‘siap untuk
maju’, dan hijau berarti ‘boleh maju’; tanda diluar lalu lintas adalah
bunyi-bunyi yang dihasilkan dari kentongan, misalnya, berarti ada bahaya.
Realitas makna kentongan diwujudkan oleh masyarakat pendukung wacana tersebut.
B. Wacana
Berdasarkan Media Komunikasi
Berdasarkan media
komunikasinya, wacana dapat diklasifikasikan atas wacana lisan dan tulisan.
1. Wacana tulis
Menurut Henry Guntur
Tarigan (1987:52) wacana tulis atau written discourse adalah wacana yang
disampaikan secara tertulis, melalui media tulis.
Menurut Mulyana
(2005:51-52) wacana tulis (written discourse) adalah jenis wacana yang
disampaikan melalui tulisan. Berbagai bentuk wacana sebenarnya dapat
dipresentasikan atau direalisasikan melalui tulisan. Sampai saat ini, tulisan
masih merupakan media yang sangat efektif dan efisian untuk menyampaikan
berbagai gagasan, wawasan, ilmu pengetahuan, atau apapun yang dapat mewakili
kreativitas manusia.
Wacana tulis sering
dipertukarkan maknanya dengan teks atau naskah. Namun, untuk kepentingan bidang
kajian wacana yang tampaknya terus berusaha menjadi disiplin ilmu yang mandiri.
Kedua istilah tersebut kurang mendapat tempat dalam kajian wacana. Apalagi
istilah teks atau naskah tampaknya hanya berorientasi pada huruf (graf)
sedangkan gambar tidak termasuk didalamnya. Padahal gambar atau lukisan dapat
dimasukkan pula kedalam jenis wacana tulis (gambar). Sebagaiman dikatakan Hari
Mukti Kridalaksana dalam Mulyana (2005:52), wacana adalah satuan bahasa yang
terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan satuan gramatikal tertinggi
dan terbesar. Wacana dapat direalisasikan dalam bentuk kata, kalimat, paragraf
atau karangan yang utuh (buku, novel, ensiklopedia, dan lain-lain) yang membawa
amanat yang lengkap dan cukup jelas berorientasi pada jenis wacana tulis.
Menurut T. Fatimah
Djajasudarma (1994: 7-8) wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud
antara lain:
a. Sebuah teks/ bahan
tertulis yang dibentuk oleh lebih dari satu alinea yang mengungkapkan sesuatu
secara beruntun dan utuh, misalnya sepucuk surat, sekelumit cerita, sepenggal
uraian ilmiah.
b. Sebuah alinea,
merupakan wacana, apabila teks hanya terdiri atas sebuah alinea, dapat dianggap
sebagai satu kesatuan misi korelasi dan situasi yang utuh.
c. Sebuah wacana
(khusus bahasa Indonesia) mungkin dapat dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk
dengan subordinasi dan koordinasi atau sistem elipsis.
Perhatikanlah makna
yang terdapat dalam pernyataan berikut:
“Ade mencintai
bapaknya, saya juga.”
Ketidakhadiran verba
pada klausa kedua (‘saya juga’) dan juga ketidakhadiran objek yang diramalkan
klausa kedua adalah:
d. ...........................,
saya juga mencintai bapak saya
Atau
e. ...........................,
saya juga mencintai bapak Ade
2. Wacana lisan
Menurut Henry Guntur
Tarigan (1987:55) wacana lisan atau spoken discourse adalah wacana yang
disampaikan secara lisan, melalui media lisan.
Menurut Mulyana
(2005:52) wacana lisan (spoken discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan
secara lisan atau langsung dalam bahasa verbal. Jenis wacana ini sering disebut
sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Adanya kenyataan bahwa pada
dasrnya bahasa kali pertama lahir melalui mulut atau lisan. Oleh karena itu,
wacana yang paling utama, primer, dan sebenarnya adalah wacana lisan. Kajian
yang sungguh-sungguh terhadap wacana pun seharusnya menjadikan wacana lisan
sebagai sasaran penelitian yang paling utama. Tentunya, dalam posisi ini wacana
tulis dianggap sebagai bentuk turunan (duplikasi) semata.
Wacana lisan memiliki
kelebihan dibanding wacana tulis. Beberapa kelebihan wacana lisan di antaranya
ialah:
a. Bersifat alami
(natural) dan langsung.
b. Mengandung
unsur-unsur prosodi bahasa (lagu, intonasi).
c. Memiliki sifat
suprasentensial (di atas struktur kalimat).
d. Berlatar belakang
konteks situasional.
Menurut Henry Guntur
Tarigan (1987:122) wacana lisan diciptakan atau dihasilkan dalam waktu dan situasi
yang nyata. Oleh sebab itu, dalam semua bentuk wacana lisan terdapat
kaidah-kaidah atau aturan-aturan mengenai siapa yang berbicara (kepada siapa)
apabila (waktunya). Dengan perkataan lain, dalam wacana lisan, kita harus
mengetahui dengan pasti:
a. Siapa yang
berbicara
b. Kepada siapa
c. Apabila; pada saat
yang nyata
Sebagai pegangan
dalam pembicaraan selanjutnya dalam buku kecil ini, maka yang dimaksud dengan
wacana lisan adalah satuan bahasa yang terlengkap dan terbesar di atas kalimat
atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan yang
mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan.
Disamping terdapat
banyak persamaan, terdapat juga sejumlah perbedaan antara wacana tulis dan
wacana lisan. Perbedaan itu dapat pula kita anggap sebagai ciri masing-masing.
Dalam uraian berikut ini akan kita bicarakan beberapa hal yang merupakan ciri
atau unsur khas wacana lisan, antara lain:
a. Aneka tindak
b. Aneka gerak
c. Aneka pertukaran
d. Aneka transaksi
e. Peranan kinesik
Menurut T. Fatimah
Djajasudarma (1994:7) sebagai media komunikasi, wujud wacana sebagai media
komunikasi berupa rangkaian ujaran (tuturan) lisan dan tulis. Sebagai media
komunikasi wacana lisan, wujudnya berupa:
a. Sebuah percakapan
atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir, misalnya obrolan di warung
kopi.
b. Satu penggalan
ikatan percakapan (rangkaian percakapan yang lengkap, biasanya memuat: gambaran
situasi, maksud, rangkaian penggunaan bahasa) yang berupa:
Ica :
.........................
Ania : “Apakah kau
punya korek?”
Rudi : “Tertinggal di
ruang makan tadi pagi.”
Penggalan wacana ini
berupa bagian dari percakapan dan merupakan situasi yang komunikatif.
C. Wacana
Berdasarkan Cara Pengungkapan
1. Wacana langsung
Wacana langsung atau
direct discourse adalah kutipan wacana yang sebenarnya dibatasi oleh intonasi
atau pungtuasi (Kridalaksana dalam Henry Guntur Tarigan, 1987:55).
2. Wacana Tidak Langsung
Wacana tidak langsung
atau indirect discourse adalah pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip
harfiah kata-kata yang dipakai oleh pembicara dengan mempergunakan konstruksi
gramatikal atau kata tertentu, antara lain dengan klausa subordinatif, kata
bahwa, dan sebagainya. (Kridalaksana, 1964: 208-9).
D. Wacana
Berdasarkan Cara Pembeberan (Pemaparan)
Wacana pembeberan
atau expository discourse adalah wacana yang tidak mementingkan waktu dan
penutur, berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagian-bagiannya diikat
secara logis (Kridalaksana dalam Henry Guntur Tarigan, 1987:56).
1. Wacana naratif
(narasi)
Menurut T. Fatimah
Djajasudarma (1994:8) wacana naratif adalah rangkaian tuturan yang menceritakan
atau menyajikan hal atau kejadian (peristiwa) melalui penonjolan pelaku. Isi
wacana ditujukan ke arah memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca.
Kekuatan wacana ini terletak pada urutan cerita berdasarkan waktu, cara-cara
bercerita, atau aturan alur (plot).
Menurut Abdul Rani,
Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:45-46) wacana narasi merupakan satu jenis
wacana yang berisi cerita. Dalam narasi terdapat unsu-unsur cerita yang penting
misalnya unsur waktu, pelaku, dan peristiwa. Dalam wacana narasi harus ada
unsur waktu, bahkan unsur pergeseran waktu itu sangat pentng. Unsur pelaku atau
tokoh merupakan pokok yang dibicarakan, sedangkan unsur peristiwa adalah
hal-hal yang dialami oleh sang pelaku.
Wacana narasi pada
umumnya ditujukan untuk menggerakan aspek emosi. Dengan narsi, penerima dapat
membentuk citra atau imajinasi. Aspek intelektual tidak banyak digunakan dalam
memahami wacana narasi.
2. Wacana deskriptif
(deskripsi)
Menurut T. Fatimah
Djajasudarma (1994:11) wacana deskriptif berupa rangkaian tuturan yang
memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun
pengetahuan penuturnya. Wacana itu biasanya bertujuan mencapai penghayatan dan
imjinatif terhadap sesuatu sehingga pendengar atau pembaca seolah-olah
merasakan atau mengalami sendiri secara langsung. Wacana deskriptif ini, ada
yang hanya memaparkan sesuatu secara objektif dan ada pula yang memaparkannya
secara imajinatif. Pemaparan secara objektif bersifat menginformasikan
sebagaimana adanya, sedangkan pemaparan secara imajinatif bersifat menambahkan
daya khayal. Daya khayal yang didapatkan didalam novel atau cerpen, atau isi
karya sastra pada umumnya.
Menurut Abdul Rani,
Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:37-38) wacana deskripsi merupakan jenis
wacana yang ditujukan kepada penerima pesan agar membentuk suatu citra
(imajinasi) tentang sesuatu hal. Aspek kejiwaan yang dapat mencerna wacana
tersebut adalah emosi. Hanya melalui emosi, seseorang dapat membentuk citra
atau imajinasi tentang sesuatu. Oleh sebab itu, ciri khas wacana deskripsi
ditandai dengan pengggunaan kata-kata atau ungkapan yang bersifat deskriptif,
seperti rambutnya ikal, hidungnya mancung, dan matanya biru. Dalam
wacana ini biasanya tidak digunakan kata-kata yang bersifat evaluatif yang
terlalu abstrak seperti, tinggi sekali, berat badan tidak seimbang, matanya
indah, dan sebagainya.
Wacana deskripsi
banyak digunakan dalam katalog penjualan dan juga data-data kepolisian. Kalimat
yang digunakan dalam wacana deskripsi umumnya kalimat deklaratif dan kata-kata
yang digunakan bersifat objektif. Wacana deskripsi cenderung tidak mempunyai
penanda pergeseran waktu seperti dalam wacana narasi.
3. Wacana Prosedural
(Eksposisi)
Menurut T. Fatimah
Djajasudarma (1994:9) wacana prosedural dipaparkan dengan rangkaian tuturan
yang melukiskan sesuatu secara berurutan dan secara kronologis. Wacana
prosedural disusun untuk menjawab pertanyaan bagaimana cara mengerjakan atau
menghasilkan sesuatu.
Menurut Abdul Rani,
Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:38-39) wacana eksposisi bertujuan untuk
menerangkan sesuatu hal kepada penerima (pembaca) agar yang bersangkutan
memahaminya. Wacana eksposisi dapat berisi konsep-konsep dan logika yang harus
diikuti oleh penerima. Oleh sebab itu, untuk memahami wacana eksposisi,
diperlukan proses berpikir.
Wacana eksposisi
menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan kata tanya bagaimana. Oleh
karena itu, wacana tersebut dapat digunakan untuk menerangkan proses atau
prosedur suatu aktivitas. Khusus untuk menerangkan proses dan prosedur,
kalimat-kalimat yang digunakan dapat berupa kalimat perintah disertai dengan
kalimat deklaratif.
4. Wacana Hortatori
(Argumentasi)
Menurut Abdul Rani,
Bustamul Arifin, dan Martutik (2006:39-40) wacana argumentasi merupakan salah
satu bentuk wacana yang berusaha mempengaruhi pembaca atau pendengar agar
menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang didasarkan pertimbangan logis
maupun emosional (Rottenberg, 1988:9). Senada dengan itu, Salmon (1984:8)
memberikan definisi argumentasi sebagai seperangkat kalimat yang disusun
sedemikian rupa sehingga beberapa kalimat berfungsi sebagai bukti-bukti yang
mendukung kalimat lain yang terdapat dalam perangkat itu.
Menurut T. Fatimah
Djajasudarma (1994:10) wacana hortatori adalah tuturan yang berisi ajakan atau
nasihat. Tuturan dapat pula berupa ekspresi yang memperkuat keputusan untuk
menyakinkan. Wacana ini tidak disusun berdasarkan urutan waktu, tetapi merupakan
hasil. Wacana ini digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar
terpikat akan suatu pendapat yang dikemukakan. Isi wacana selalu berusaha untuk
memiliki pengikut atau penganut, atau paling tidak menyetujui pendapat yang
dikemukakannya itu, kemudian terdorong untuk melakukan atau mengalaminya. Yang
termasuk wacana hortatori antara lain khotbah, pidato tentang politik.
Sebuah wacana
dikategorikan argumentasi apabila bertolak dari adanya isu yang sifatnya
kontroversi antara penutur dan mitra tutur. Dalam kaitannya dengan isu
tersebut, penutur berusaha menjelaskan alasan-alasan yang logis untuk
meyakinkan mitra tuturnya (pembaca atau pendengar). Biasanya, suatu topik
diangkat karena mempunyai nilai, seperti indah, benar, baik, berguna, efektif
atau swebaliknya.
Pada dasarnya,
kekuatan argumen terletak pada kemampuan penutrur dalam mengemukakan tiga
prinsip pokok, yaitu apa yang disebut pernyataan, alasan, dan pembenaran.
Pernyataan mengacu pada kemampuan penutur dalam menentukan posisi. Alasan
mengacu pada kemampuan penutur untuk mempertahakn pernyataannya dengan
memberikan alasan-alasan yang relevan. Pembenaran mengacu pada kemampuan
penutur dalam menunjukkan hubungan antara pernyataan dan alasan.
5. Wacana Ekspositori
Menurut T. Fatimah
Djajasudarma (1994:10-11) wacana ekpositori bersifat menjelaskan sesuatu.
Biasanya berisi pendapat atau simpulan dari sebuah pandangan. Pada umumnya,
ceramah, pidato, atau artikel pada majalah dan surat kabar termasuk wacana
ekspositori. Wacana ini dapat berupa rangkaian tuturan yang menjelaskan atau
memeparkan sesuatu. Isi wacana lebih menjelaskan dengan cara menguraikan
bagian-bagian pokok pikiran. Tujuan yang ingin dicapai melalui wacana
ekspositori adalah tercapainya tingkat pemahaman akan sesuatu.
Wacana ekspositori
dapat berbentuk ilustrasi dengan contoh, berbentuk perbandingan, uraian
kronologis, identifikasi. Identifikasi dengan orientasi pada meteri yang
dijelaskan secara rinci atau bagian demi bagian.
6. Wacana Dramatik
Wacan dramatik
menyangkut beberapa orang penutur (persona) dan sedikit bagian naratif. Pentas
drama merupakan wacana dramatik. Drama dahulu dikenal dengan sebutan
‘sandiwara’, tetapi sekarang lebih dikenal dengan nama drama.
7. Wacana Epistolari
Wacana epistolari
digunakan di dalam hal surat-surat, dengan sistem dan bentuk tertentu. Wacana
ini dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan alinea penutup.
8. Wacana Seremonial
Wacan seremonial
berhubungan dengan upacara adat yang berlaku di masyarakat bahasa. Wacan
seremonial dapat berupa nasihat (pidato) pada upacara perkawinan, upacara
kematian, upacara syukuran, dsb.
E. Wacana
Berdasarkan Bentuk
Menurut Henry Guntur
Tarigan (1987:57-59), wacana berdasarkan bentuknya dapat dibagi atas:
1. Wacana prosa
Wacana prosa adalah
wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa. Wacana ini didapat dan tertulis
atau lisan, dapat berupa wacana langsung, dapat pula dengan pembeberan atau
penuturan. Contoh: novel, cerpen, tesis, skripsi, dan lain-lain.
2. Wacana puisi
Wacana puisi adalah
wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi baik secara tertulis maupun lisan.
3. Wacana drama
Wacana drama adalah
wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk katalog baik secara
tertulis maupun secara lisan.
Menurut pendapat
Robert Longacre (dalam Mulyana, 2005:47-51) wacana berdasarkan bentuknya dapat
dibagi atas:
1. Wacana naratif
Wacana naratif adalah
bentuk wacana yang banyak dipergunakan untuk menceritakan suatu kisah.
Uraiannya cenderung ringkas. Bagian-bagian yang dianggap penting sering diberi
tekanan atau diulang. Bentuk wacana naratif umumnya dimulai dengan alinea
pembuka, isi, dan diakhiri oleh alinea penutup.
2. Wacana Prosedural
Wacana prosedural
digunakan untuk memberikan petunjuk atau keterangan bagaimana sesuatu harus
dilaksanakan. Oleh karena itu, kalimat-kalimatnya berisi persyaratan atau
aturan tertentu agar tujuan kegiatan tertentu itu berhasil dengan baik.
3. Wacana Ekspositori
Wacana ekspositori
bersifat menjelaskan sesuatu secara informatif. Bahasa yang digunakan cenderung
denotatif dan rasional
4. Wacana Hortatori
Wacana hortatori
digunakan untuk mempengaruhi pendengar atau pembaca agar tertarik terhadap
pendapat yang dikemukakan. Sifatnya persuasif. Tujuannya adalah mencari
pengikut/penganut agar bersedia melakukan, atau paling tidak menyetujui, pada
hal yang disampaikan dalam wacana tersebut.
5. Wacana Dramatik
Menurut Menurut
Mulyana (2005:50) wacana dramatik adalah bentuk wacana yang berisi percakapan
antar penutur. Sedapat mungkin menghindari atau meminimalkan sifat narasi di
didalamnya. Contoh teks dramatik adalah skenario film/sinetron, pentas wayang
orang, ketoprak, sandiwara, dan sejenisnya.
Contoh wacana
dramatik:
Ibu : Anakku, kamu
sudah dewasa. Apalagi sekarang ini ibu sudah tua.
Anak : Maksud ibu?
Ibu : Ibu ingin
segera punya cucu. Ibu ingin sekali menjadi nenek. Kamu harus segera mencari
istri.
Anak : Saya kan belum
punya pekerjaan tetap, Bu! Bagaimana nanti saya menghidupi istri dan anak-anak
saya.
Ibu : Tidak usah
khawatir. Ibu ada tabungan yang cukup buat kamu buka usaha. Tapi kamu harus
pandai cari tambahan modal. Terima ini.
Anak : Terimakasih,
Bu.
6. Wacana Epistoleri
Menurut Mulyana
(2005:50) wacana epistoleri biasa dipergunakan dalam surat-menyurat. Pada
umumnya memiliki bentuk dan sistem tertentu yang sudah menjadi kebiasaan atau
aturan. Secara keseluruhan, bagian wacana ini diawali oleh alinea pembuka,
dilanjutkan bagian isi, dan diakhiri alinea penutup.
7. Wacana Seremonial
Menurut Mulyana
(2005:51) wacana seremonial adalah bentuk wacana yang digunakan dalam
kesempatan semonial (upacara). Karena erat kaitannya dengan konteks situasi dan
kondisi yang terjadi dalam seremoni, maka wacana ini tidak digunakan di
sembarang waktu. Inilah bentuk wacana yang dinilai khas dan khusus dalam Bahasa
Jawa. Wacana ini umumnya tercipta kerena tersedianya konteks sosio-kultural
yang melatarbelakanginya. Secara keseluruhan, teks wacana seremonial terdiri
dari alinea pembuka, dilanjutkan isi, dan diakhiri alinea penutup. Contoh
wacana ini adalah pidato dalam upacara peringatan hari-hari besar, upacara
pernikahan (Jawa: tanggap wacana manten)
F. Wacana
Berdasarkan Isi
Menurut Mulyana
(2005:57-63) klasifikasi wacana berdasarkan isi, relatif mudah dikenali. Hal
ini disebabkan antara lain, oleh tersedianya ruang dalam berbagai media yang
secara khusus langsung mengelompokkan jenis-jenis wacana atas dasar isinya. Isi
wacana sebenarnya lebih bermakna sebagai ‘nuansa’ atau muatan tentang hal yang
ditulis, disebutkan, diberitakan, atau diperbincangkan oleh pemakai bahasa
(wacana).
Berdasarkan isinya,
wacana dapat dipilah menjadi: wacana politik, wacana sosial, wacana ekonomi,
wacana budaya, wacana militer, wacana hukum, dan wacana kriminalitas. Wacana
yang berkembang dan digunakan secara khusus dan terbatas pada ‘dunia’-nya itu,
dapat juga disebut sebagai register, yaitu pemakaian bahasa dalam suatu
lingkungan dan kelompok tertentu dengan nuansa makna tertentu pula.
1. Wacana Politik
Wacana politik
berkaitan dengan masalah politik.
2. Wacana Sosial
Wacana sosial
berkaitan dengan kehidupan sosial dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
3. Wacana ekonomi
Wacana ekonomi
berkaitan dengan persoalan ekonomi. Dalam wacana ekonomi, ada beberapa register
yang hanya dikenal di dunia bisnis dan ekonomi. Contoh ungkapan-ungkapan
register ekonomi seperti persaingan pasar, biaya produksi tinggi, langkanya
sembako, konsumen dirugikan, inflasi, evaluasi, harga saham gabungan, mata
uang, dan sebagainya.
4. Wacana budaya
Wacana budaya
berkaitan dengan aktivitas kebudayaan. Meskipun sampai saat ini makna
‘kebudayaan’ masih terus diperdebatkan, namun pada wilayah kewicanaan ini,
kebudayaan lebih dimaknai sebagai wilayah ‘kebiasaan atau tradisi, adat, sikap
hidup, dan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari’.
Wilayah tersebut kemudian menghasilkan bentuk-bentuk kebahasaan sabagai
representasi aktivitasnya yang kemudian disebut wacana budaya.
5. Wacana militer
Wacana jenis ini
hanya dipakai, dikembangkan di dunia militer. Instasi militer dikenal sangat
suka menciptakan istilah-istilah khusus yang hanya dikenal oleh kalangan
militer. Contoh istilah dalam wicana militer seperti operasi militer, desersi,
intelijen, apel pagi, sumpah prajurit, veteran, dan lain-lain.
6. Wacana hukum dan
kriminalitas
Persoalan hukum dan
kriminalitas, sekalipun bisa dipisahkan, namun keduanya bagaikan dua sisi dari
mata uang: berbeda tetapi menjadi satu kesatuan. Kriminalitas menyangkut hukum,
dan hukum mengelilingi kriminalitas. Contoh istilah yang digunakan dalam wacana
hukum dan kriminalitas seperti tersangka, tim pembela, kasasi, vonis, hakim.
7. Wacana olahraga
dan kesehatan
Wacana olahraga dan
kesehatan berkaitan dengan masalah olahraga dan kesehatan. Masalah yang
berkaitan dengan kesehatan misalnya, muncul kalimat ”Sempat joging 10 menit,
didiagnosis jantung ringan”. Istilah joging adalah aktivitas olahraga
ringan yang berkaitan dengan kesehatan. Oleh karena itu, munculnya istilah
’jantung ringan’ pada bagian berikutnya sama sekali bukan berarti berat jantung
yang ringan (tidak berat), tetapi jenis sakit jantung pada stadium awal (masih
belum mengkhawatirkan)
0 komentar:
Posting Komentar